PUTUSAN Komite Pemilihan PSSI yang meloloskan Nurdin Halid dan Nirwan Dermawan Bakrie serta menggugurkan George Toisutta dan Arifin Panigoro sebagai bakal calon ketua umum PSSI dinilai sebagai puncak kegentingan sepak bola Indonesia. Bahkan dalam skala dan dunia yang berbeda, kondisi ini disamakan dengan kegentingan Indonesia tahun 1998 yang melahirkan gelombang reformasi.
Demikian diungkapkan pengamat olah raga sekaligus sosiolog Fritz E Simandjuntak saat berbincang dengan Suara Merdeka, Minggu (20/2). Menurutnya, kini telah terjadi diskoneksi antara PSSI sebagai lembaga yang berwenang mengatur sepak bola dengan suara masyarakat sebagai pemangku kepentingan terbesar sepak bola. Hal ini sama saat reformasi hamil tua dan akhirnya pecah tahun 1998.
"Dunia sepak bola Indonesia sekarang kritis seperti Indonesia tahun 1998. Bila telah terjadi diskoneksi, apapun ceritanya tidak akan menguntungkan organisasi PSSI dan sepak bola," ujar Fritz.
Suara masyarakat yang banyak menyorot negatif PSSI dan Nurdin Halid menurutnya mutlak tidak boleh diabaikan. Dikatakan, PSSI dan Nurdin telah mengakali berbagai aturan untuk memuluskan jalan untuk melanggengkan kekuasaannya. Diantaranya mengubah ketentuan larangan pernah tersangkut perkara pidana.
"Ini akal-akalan yang sangat menyedihkan. Bila dibiarkan, akan ada gerakan luar biasa dari rakyat terhadap PSSI dan Nurdin Halid," katanya.
Ditambahkan, dalam kondisi seperti ini, nurani dalam pengeloalaan sepak bola Indonesia telah lama diabaikan. Celakanya, pemilik suara dalam pemilihan yakni pengurus provinsi dan klub sebagian besar telah terbeli oleh status qou. Indikasinya jelas, sebagian besar mereka tetap mencalonkan Nurdin sebagai ketua umum PSSI walaupun mengetahui kondisi sepak bola Indonesia telah sedemikian kritis.
Hal inipun terjadi saat Presiden Soeharto dituntut mundur oleh rakyat. Meski begitu, saat itu, semula Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap mendukung Soeharto dengan klaim masih didukung masyarakat. "Inilah yang terjadi sekarang ini."
Statuta FIFA
Selama ini, PSSI selalu mengaku mengacu kepada statuta FIFA. Menurut Fritz hal inipun bermasalaha karena FIFA dan PSSI sejatinya berbeda. PSSI merupakan organisasi yang mempunyai anggota berupa klub, sementara FIFA sebagai organisasi yang tidak beranggotakan klub.
Bila memang ingin menyelaraskan dengan FIFA, seharusnya PSSI menempatkan diri sebagai organisasi yang hanya mengurusi kompetisi, tanpa memiliki anggota berupa klub, sebagimana FIFA hanya menyelenggarakan kompetisi seperti Piala Dunia dan lainnya.
Menghadapi kondisi seperti ini, pemerintah seharusnya bersikap tegas. Diantaranya dengan konsisten melarang penggunaan APBD untuk klub profesional. Dapat juga membuat satuan tugas untuk memeriksa seluruh penggunaan APBD oleh klub-klub. Demikian juga membongkar berbagai kasus di PSSI, seperti yang telah diungkap sebuah majalah ibu kota.
"Contoh kasus di Persisam itu kan sudah jelas. Pemerintah harus memeriksa indikasi kasus di PSSI yang berkaitan dengan uang APBD. Periksa dan tangkap semua yang terlibat. Pemerintah harus berani," tandasnya.
Sementara pengamat sepak bola Sumohadi Marsis menilai PSSI bersama komite-komite yang dibentuk dalam rangka pemilihan ketua umum terlihat membuat pagar agar tidak ada orang luar yang bersaing menjadi ketua umum. Mereka juga membuat standar ganda dalam mengeliminasi George Toisutta, salah satu bakal calon ketua umum.
Alasan yang digunakan, Toisutta dianggap tidak memenuhi syarat mengurusi sepak bola minimal dalam rentang lima tahun. Apalagi PSSI memakai alasan bila status pembina Toisutta dalam klub PSAD berlainan dengan kategori menjadi penguirus.
Di lain pihak, Komite Pemilihan PSSI malah meloloskan Nurdin Halid.
Padahal statuta FIFA Pasal 32 dengan jelas mengatur bahwa sesorang yang pernah tersangkut perkara kriminal, dilarang menjadi anggota komite eksekutif dan ketua umum.
"Ini kan standar ganda yang dipakai. Baiklah kalau Arifin Panigoro gagal karena mengelola LPI yang dianggap ilegal, tapi bagaimana dengan alasan untuk tidak meloloskan Toisutta. Kalau begitu, sekalian buatlah aturan yang berhak dicalonkan menjadi ketua umum adalah mereka yang sebelumnya pernah menjadi ketua umum," tandasnya.
Hati Nurani
Senada dengan Fritz, Sumohadi mengatakan, kini telah tidak ada hati nurani dalam pembinaan sepak bola Indonesia terutama oleh PSSI. Dua ketua umum PSSI sebelumnya telah mencontohkan memilih mundur karena alasan nurani ini.
Azwar Anas memilih mundur setelah terjadi kasus gol bunuh diri yang disengaja oleh Mursyid Effendy dalam laga Piala Tiger melawan Thailand, lebih dari satu dekade silam. Sementara Agum Gumelar menolak kembali dicalonkan karena dua kali gagal membawa Indonesia juara Piala Tiger.
"Kalau Nurdin ini seperti dari planet lain yang merasa berhasil membawa PSSI berprestasi. Mereka ini pakai logika dan etika yang berbeda dari kebanyakan orang yang waras."
Akan tambah menggelikan bila PSSI mengklaim semasa dipimpin Nurdin pernah menjadi juara Piala Kemerdekaan tahun 2008. Pasalnya gelar tersebut diraih karena Libya memilih walk out setelah asisten pelatih kiper Indonesia memukul pelatih Libya saat mereka unggul 1-0.
Celakanya PSSI dan sebagian besar pemilik hak suara dipersatukan hal yang sama, ingin selama mungkin menduduki jabatan mereka dengan berbagai kepentingan. Dikatakan, secara berkala PSSI mendapatkan uang besar dari FIFA dan pemasukan dari sponsor.
Karena berbagai hal di atas, Sumohadi akan mendorong KONI/KOI dan pemerintah agar melakukan tindakan organisatoris kepada PSSI. Salah satu pertimbangannya, statuta PSSI tidak selaras dengan AD/ART KOI dan aturan lazim di pemerintah yang membatasi masa jabatan.
Dieliminasi Komite Pemilihan, George Toisutta dan Arifin Panigoro sesuai peraturan mempunyai waktu tiga hari sejak diumumkan tidak lolos guna mengajukan banding ke Komite Banding PSSI. Wakil Ketua Komite Banding PSSI Gayus Lumbuun menuturkan, keputusan Komite Banding bersikap final namun tidak mutlak.
Bila dalam putusan Komite Banding dicurigai FIFA meragukan karena berbagai alasan, maka dapat dibatalkan FIFA. "Ini berbeda dengan pengadilan umum. Statuta PSSI merujuk statuta FIFA, yang jelas diatur tidak boleh diintervensi pemerintah atau pihak manapun," kata Gayus.
Selama bersidang, Komite Banding mempunyai 30 hari untuk memutus perkara. Namun hingga kini belum ada pihak yang mengajukan banding. Gayus mengaku dirinya bersama Tjipta Lesmana dan Alfred Simanjuntak yang menggawangi Komite banding, guna menjaga independensi telah bersepakat menolak untuk bertemu pihak manapun terkait kemungkinan upaya banding.
"Pandangan saya hanya satu, yakni independensi yang mutlak merujuk statuta FIFA, agar ada putusan yang adil dan transparan," lanjut dia.
Tiga kemungkinan Komite Banding dalam memutus perkara yang mungkin diajukan adalah membatalkan seluruh permohonan atau usulan Komite Pemilihan, menerima seluruh permohonan atau usulan, atau menerima sebagian dan menolak sebagian usulan dan permohonan.
Dirinya meminta masyarakat percaya kepada Komite Banding. Di lain sisi, Gayus mengaku mendengar aspirasi dan spontanitas masyarakat terkait karut-marut sepak bola Indonesia. Apalagi olah raga ini menyedot ratusan miliar uang rakyat setiap tahunnya.
"Saya ini dipilih dari banyak calon, kami orang-orang yang independen. Kepercayaan ini akan kami sumbangkan untuk masyarakat dengan putusan yang terbaik," tandas Gayus yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR ini.
Minggu, 20 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar